Ṣalāt Bukan Hanya Sebatas Formalitas
Yukrimah Nur Rohhim, S.S.
Staff Redaksi Nur Hidayah Press
Gambar 1.1 Salat Bukan Hanya Sebatas Formalitas. Sumber: https://images.app.goo.gl/KDMhWrzQor472dv86
Seringkali ṣalāt dimaknai hanya sebagai ibadah formal. Lebih dari itu, sebenarnya ṣalāt sebenarnya memiliki makna luar biasa. Makna ini akan menuntun seorang hamba pada kenikmatan sehingga menjalankannya tidak hanya sebagai kewajiban, namun sebagai sebuah kebutuhan. Sebagaimana disebutkan oleh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam Al-Jami’ Fī Fiqhin Nisa’, ṣalāt merupakan ekspresi dalam bentuk perbuatan tertentu dalam rangka mengabdi atau beribadah kepada Allah Swt.. Maka untuk mengabdi dan mengekspresikan diri kepada Allah Swt., seorang muslim harus memahami makna ṣalāt. Berikut penjelasan tentang makna-makna ibadah ṣalāt.
Makna yang pertama, ṣalāt adalah sebagai penanda masih adanya iman dalam hati seorang hamba. Hal ini dibuktikan ketika seorang hamba mendengar azan dalam lima waktu ṣalāt kemudian bergetar hatinya, maka itulah penanda masih ada iman di dalam dirinya. Sebagaimana disebutkan dalam surah al-Anfāl ayat 2,
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ…. {٢}
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetar hatinya….”
Disebutkan juga dalam surah al-‘Ankabūt ayat 45,
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ … وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗ…. {٤٥}
Artinya: “Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’ān) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah ṣalāt… sungguh, mengingat Allah (ṣalāt) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain)….”
Kedua, ṣalāt adalah satu-satunya wasilah ibadah yang disebutkan dalam Al-Qur’ān, untuk langsung memohonkan kepada Allah Swt. semua kebutuhan atau meminta pertolongan. Ketika merasa masalah datang bertubi-tubi, Allah Swt. memerintahkan untuk bersabar dan ṣalāt. Inilah yang disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 45 dan 46,
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ {٤٥} الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَنَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ ࣖ {٤٦}
Artinya: “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan ṣalāt. Sesungguhnya (ṣalāt) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan hanya kepada-Nya mereka kembali.”
Dalam ayat tersebut, manusia diperintahkan untuk bersabar terlebih dahulu ketika menghadapi masalah. Menerima terlebih dahulu masalah dengan cara bersabar, kemudian barulah Allah Swt. menyeru untuk mendirikan ṣalāt. Saat ṣalāt inilah Allah Swt. menanyakan semua kebutuhan kita.
Perhatikan ketika membaca al-Fatiḥāḥ pada kalimat, “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn”, disebutkan dalam ḥadiṡ qudsi, bahwa,
…. فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ). قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ….
Artinya: “…. Jika ia (seorang hamba) mengucapkan ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)’, Allah berfirman, ‘Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta…’.” (H.R. Muslim, No. 395)
Dalam ḥadiṡ qudsi tersebut, jelas Allah Swt. telah menyambut hamba-Nya yang meminta pertolongan. Allah Swt. menjawabnya dengan akan mengabulkan apapun yang diminta oleh hamba-Nya. Maka inilah yang harus dimaknai ketika ṣalāt, meminta pertolongan kepada Allah Swt.. Bukan hanya sebatas melakukan gerakan takbir, rukuk, atau sujud.
Demikianlah dua makna ṣalāt yang harus dihayati dalam kehidupan. Ṣalāt akan menjadi sebuah kebutuhan seorang hamba untuk meminta pertolongan dan berdo’a pada Allah Swt.. Ṣalāt dijalankan bukan sebagai sebuah formalitas, karena ia menjadikannya sarana untuk memohon kepada Allah Swt.. Dari sinilah seorang hamba akan menghayati setiap gerakan dan bacaan di dalam ṣalāt, sehingga dapat memperoleh keberkahan luar biasa dari-Nya. Tentu saja masih banyak makna mendirikan ibadah ṣalāt yang dapat digali, termasuk salah satunya dapat mencegah seseorang dari berbuat keji dan mungkar.
Referensi:
‘Uwaidah, Kamil Muhammad (penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M.). 2005. Fiqih Wanita (terj: Al-Jami’ Fī Fiqhin Nisā’). Jakarta: Al-kautsar.
Disarikan dari ceramah Ustadz Adi Hidayat tentang “Antara Sholat dan Pertolongan Allah”.
Hukum Al-Fatihah (1): Basmalah Bagian Al Fatihah atau Bukan?