Nur Hidayah Press
Aisyah Ummu Jamil, S.Pd.

Aisyah Ummu Jamil, S.Pd.

Tim Redaksi Nur Hidayah Press

Pendidikan Seksual: Antara Tabu dan Urgensi

Gambar 1.1 Pendidikan Seksual. Sumber: https://www.shutterstock.com/

Belakangan ini viral seorang guru menjelaskan tentang kaum Sodom Nabi Luth kepada muridnya. Banyak komentar dari netizen yang merasa tak pantas seorang guru menjelaskan kaum Sodom kepada muridnya yang masih SD. Namun, sebagian lagi merasa tak masalah dengan penyampaian guru tersebut.

Holy Ichda Wahyuni, pemerhati anak sekaligus dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah Malang mengatakan, hal penting yang perlu diperhatikan bagi pendidik adalah upaya untuk menginternalisasi pendidikan seksual, yakni penting untuk mempertimbangkan konsep perkembangan peserta didik. Menjelaskan kepada anak SD tentu berbeda dengan menjelaskan kepada anak SMA.

Sementara pada aspek perkembangan moralnya, anak usia SD usia (7-9 tahun) memiliki fase perkembangan moral konvensional. Di mana anak mengikuti aturan moral yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternalnya, contohnya kesepakatan keluarga, sehingga peranan orang tua dan guru menjadi penting untuk penanaman pendidikan seksualitas.

“Maka, anggapan tabu, tidak menjadi alasan untuk tidak sama sekali mengajarkan kepada anak penanaman pendidikan seksualitas. Apalagi jika seorang pendidik mengajarkan materi tersebut pada kapasitas sesuai disiplin ilmunya,” jelas Holy.

Contohnya guru biologi akan menanamkan pendidikan seksualitas melalui pemahaman biologis, anatomi, dan fisiologi tubuh dan perubahannya pada fase pertumbuhan perkembangan, serta pemahaman tentang fungsi alat kelamin atau organ reproduksi lainnya. Kemudian, pada kasus yang sedang viral tersebut, seorang guru Agama Islam sedang menjelaskan tentang perbuatan penyimpangan seksual yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth yang disebut kaum Sodom.

Kurikulum pendidikan masih sebatas internalisasi pendidikan karakter dengan arti yang masih luas. Padahal, seperti yang kita tahu, saat ini kita sedang menghadapi darurat kekerasan seksual, khususnya yang menimpa anak-anak di bawah umur.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari angka itu, 15,2 persennya adalah kekerasan seksual. Dalam kasus kekerasan terhadap anak, trennya lebih memrihatinkan karena kasus kekerasan seksual mengambil porsi yang besar. Pada kasus kekerasan terhadap anak, 45,1 persen dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak merupakan kasus kekerasan seksual. Artinya, sekitar 6.547 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi selama tahun 2021.

Sudah bukan saatnya lagi mengidentifikasi pendidikan seksual dan reproduksi kepada anak dan remaja sebagai sesuatu yang tabu. Pendidikan ini penting sebagai usaha preventif agar kelompok usia tersebut bisa mengidentifikasi pelecehan dan kekerasan seksual.

Pendidikan seksual sejak dini adalah aspek penting dalam perkembangan anak-anak dan remaja. Meskipun seringkali menjadi topik kontroversial, pendidikan seksual yang tepat dapat memberikan pemahaman yang sehat tentang tubuh, hubungan antarmanusia, dan menjaga kesehatan secara keseluruhan. Penting untuk dicatat bahwa pendidikan seksual sejak dini tidak hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga orang tua. Kerja sama antara sekolah dan keluarga sangat penting dalam memberikan pemahaman yang komprehensif dan seimbang tentang seksualitas kepada anak-anak.

Bagaimana mengajarkan pendidikan seksual kepada anak sejak dini?

Islam memiliki peraturan mengenai pendidikan seks, termasuk hukum dan tata cara pelaksanaannya. Pendidikan seks sejak dini merupakan bagian dari hukum Islam dan  bagian penting dari Al-Qur’ān dan Sunah. Pemberian pendidikan seks pada anak sejalan dengan tuntunan Al-Qur’ān untuk mengikuti perintah dan larangan Allah Swt..

Syarifah Gustiawati Mukri menjelaskan bagaimana metode dan strategi yang tepat untuk mengenalkan perilah seksualitas pada anak usia dini yang sesuai dengan ajaran syariat Islam di dalam artikel yang berjudul “Pendidikan Seks Usia Dini Perspektif Hukum Islam”.

Pertama, menumbuhkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus mulai diajarkan sejak usia dini, jangan biasakan anak untuk bertelanjang di depan umum, termasuk keluarga sendiri. Ajari anak mengenai auratnya dan tanamkan rasa malu dengan membiasakan untuk memakaikan pakaian yang tertutup.

Kedua, menumbuhkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan feminitas pada anak perempuan. Islam telah mensyariatkan untuk menjaga kepribadian sesuai dengan fitrahnya. Laki-laki dengan sifat maskulinnya dan perempuan dengan sifat feminimnya. Islam melarang laki-laki yang berperilaku seperti perempuan, begitu juga sebaliknya. Sebagaimana yang tercantum dalam hadist Nabi, “Allah melaknat para perempuan yang menyerupai laki-laki, dan para lelaki yang menyerupai perepuan”. Oleh karena itu, peran orang tua sangat penting dalam membentuk dan menjaga kepribadian agar sesuai dengan fitrahnya. Biasakan untuk memakaikan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Perlakukan mereka sesuai dengan jenis kelaminnya.

Ketiga, saat menginjak usia 7–10 mulai biasakan tidur terpisah dari orang tua. Pemisahan kamar bertujuan untuk mengajarkan pada anak mengenai identitas diri anak. Selain itu, latih anak untuk hidup mandiri dan tidak tergantung pada orang tuanya. Pisahkan juga antara anak laki-laki dan perempuan agar mereka paham akan eksistensi perbedaan kelamin.

Keempat, edukasi anak mengenai waktu berkunjung ke kamar orang tua. Anak tidak boleh masuk kamar kecuali atas izin orang tua pada 3 waktu, yaitu sebelum salat subuh, tengah hari, dan setelah salat isya. Waktu tersebut merupakan saat di mana aurat orang dewasa sering terbuka. Hal tersebut juga telah tercantum dalam firman Allah pada surat al-Aḥzāb ayat 13.

Kelima, mengenalkan siapa saja mahramnya. Anak harus mulai diajarkan sejak dini mengenai siapa saja yang menjadi mahramnya agar meraka paham dan dapat menjaga pergaulan sehari-hari dengan mahramnya, walaupun hidup serumah. Sebab, Islam dengan tegas mengharamkan incest atau pernikahan antar saudara kandung/mahramnya. Mengenai siapa saja mahramnya tercantum dalam surat an-Nisā’ ayat 22.

Ketujuh, mengajarkan anak terutama anak laki-laki untuk menjaga pandangan matanya. Sudah menjadi fitrah setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun, jika fitrah yang ada dibiarkan bebas berkeliaran akan merugikan individu itu sendiri. Begitu juga pandangan mata yang terbiasa melihat gambar atau film-film yang banyak memuat unsur pornografi akan membuat anak menjadi pribadi yang buruk.

Kedelapan, edukasi anak mengenai larangan ikhtilat dan khalwat. Ikhtilat adalah bercampurnya sekumpulan laki-laki dan perempuan tanpa adanya alasan yang syar’i, sedangkan khalwat yaitu berkumpulnya laki-laki dan perempuan di satu tempat tanpa ada mahram yang mendampingi. Kedua perbuatan tersebut sudah sering terjadi di zaman sekarang ini, bahkan sudah dianggap biasa. Islam melarang perbuatan tersebut karena mengantarkan pada perbuatan zina.

Delapan poin tersebut merupakan metode dan strategi mengajarkan pendidikan seksual dalam Islam yang dapat diterapkan pada anak. Tujuan dari pendidikan seksual yakni untuk mengetahui fungsi organ pada tubuh, rasa tanggung jawab, halam-haram berkaitan dengan hubungan seksual, dan agar terhindar dari ancaman penyimpangan dan pelecehan seksual.

 

Sumber:

https://www.kompas.com/edu/read/2022/03/29/130000171/viral-guru-sd-jelaskan-kaum-sodom-ini-kata-dosen-um-surabaya

https://news.republika.co.id/berita/rag47l318/sampai-kapan-pendidikan-seks-untuk-anak-dianggap-tabu

https://indonesiabaik.id/infografis/pentingnya-pendidikan-seksual-pada-anak

Pendidikan Seksual Menurut Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Hubungi Kami
Informasi lebih lanjut
Customer Service
Selamat datang di Nur Hidayah Press!
Apakah ada yang bisa kami bantu?